Kemarin, aku masih sempat melihat dia tersenyum. Entah karena memang dia sudah terlihat lebih baik, atau hanya sekedar menghiburku. Aku tak pernah tahu persis tentang kehidupannya. Tapi, aku sudah mengenal dia selama hampir 5 tahun. Setelah sekian lama juga, aku bekerja di pabrik. Akupun selalu mencoba paham dan mengerti, bahwa tak ada sesuatu yang Tuhan lakukan terhadap makhluknya kecuali untuk kebaikan. Bahkan ketika sakit sekalipun.
"La.." Sapanya dengan menyentuh tanganku, tatkala dia tahu, aku tengah tertidur di sampingnya.
"Udah bangun Zen.." Kataku tersenyum, sambil mataku sedikit-sedikit terpejam dan membuka, menahan kantuk. Maklum, semalaman aku tak tidur.
"Kamu kok gak pulang?" Katanya lirih.
"Kadang.. Hidup tak bisa mengerti kita"
Tapi menurutku, kadang kita yang harus paham
Tentang bagaimana kita harus melakukan action yang tepat..
Memang, kita terkadang tak tahu, dengan rencana yang seperti apa
Tapi menurutku, terkadang kita harus membuat prediksi yang baik
Dengan melakukan usaha yang baik,
Jodoh, rejeki, jalan hidup memang tak dinyana
Buat apa merengkuh riuh menggenggam ego
Langit Jakarta mendung tak pasti. Warga sekitar yang sedang menjemur pakaian, tiba-tiba menarik pakaiannya kembali dan berlari ke dalam rumah.
"Dan?!! Kesini!" Teriak salah seoarang anak berambut keriting dari arah loteng tetangga sebelah.
Yang dipanggil masih celingukan.
"Dandi!! Di atas! Loteng!"
Dandi menoleh ke atas. Lalu berlari masuk rumah tetangga, dan menyusul Aga alias krebo, begitu teman-teman menyebutnya.
"Kata Emak, kalo mendung begini, harus hati-hati, naik ke rumah yang lantainya dua. Desa sini sering kena banjir Dan! Tinggi loh. Setinggi rumah." katanya berperaga seperti seorang yang bercerita.
"Masak sih, rumahku gak punya lantai dua Bo?!"
"Kamu ajak aja Emak kamu sama Bapak kamu kesini. Ke atas sini. ini rumah mbahku."
"Emakku pasti rak gelem Bo, nembe kerja."
"Apa Dan? Aku gak ngerti."
Liburan ini, aku cukup senang berada di rumah.. Ada teman baru yang menemaniku, terutama Ibu, ketika aku tak ada. Yah, meskipun belum tahu seberapa banyak, aku senang kakak iparku kini tinggal serumah dengan aku. Cukup lama, sejak hari pernikahan mereka, hampir dua bulan, aku tak bertemu kakakku. Padahal, jarak rumah dan mertua tidak ada 10 Km. Tapi rasanya jauuuh, seperti pulau Jawa dan Borneo. Begitu budeku bilang.
Meski hanya di rumah, rasanya seperti di rumah baru,
Bulan rindu menatapku
Menjamu dalam jarak
Yang tak terkira jauhnya
Aku bersama angin,
Hanya bermain dalam dingin yang berbeda
Mencoba menyatukan sedikit harapan yang sama...
Matahari yang lekas bersinar
Menghangatkan sepucuk rindu yang meracun
Sumber : http://octanegara.wordpress.com/2012/01/26/potret-keikhlasan-ayah-dan-putrinya/
Beberapa hari yang lalu, di bawah kolong meja, aku menemukan secarik kertas. Setelah kubuka, ternyata ada secuil kata-kata yang isinya seperti ini...
---------------------------------------------------------------------- Untuk Bapak,
Pak, aku mungkin gak bisa pulang minggu ini. Masih banyak orderan di tokoku. Jadi aku masih sibuk. Kuharap Bapak ngerti dengan keadaanku. Uang untuk Bapak, mungkin sebulan lagi baru aku bisa ngirim. Keadaan ibu bagaimana Pak? Apakah baik-baik saja? Aku kangen sama ibuk. Adik-adikku juga. Sebenernya pengen cepet pulang, tapi, mau bagaimana lagi? Aku lagi butuh uangku untuk keperluanku di sini. Salam buat Ibuk. Aku kangen. Buat Adik-adikku, belajar yang rajin ya...
Salam, Rani
----------------------------------------------------------------------
Aku lantas memberikan surat itu kepada Ayahku. Dia terkejut melihatnya.
"Rani siapa Pak?" Tanyaku dengan semakin penasaran karena Ayah terlihat gugup.
Sumber : http://shadowmie.blogspot.com/2011/05/jodoh-doa-dan-harapan.html
Dalam sunyi itu aku masih menikmati air surga Tuhan
Menengadah penuh harap dan pengharapan
Memulai doa dengan bisik-bisik rindu
Sejalan dengan waktu yang semakin berisik sendu...
Dalam damai ku bertunduk dalam kesejukan
Merintih-rintih sesembari kuangkat jiwa penuh nestapa
Kulirik kanan kiriku. Ternyata hanya ada pohon dan pohon. Dengan sedikit gugup kuteruskan langkahku sampai di ujung jalan. Ada semburat cahaya yang terang di belokan sebelah kanan. Serasa ada semangat baru untuk melangkah. Akupun tanpa ragu mendekat ke arah cahaya itu.
"Hoh... Tuhan..." Ucapku spontan.
Ternyata yang ada hanya lampu neon di atas pekuburan. Mungkin orang yang meninggal disitu baru beberapa hari. Sehingga masih ada tenda dan lampu-lampu di atasnya.
Dari arah berlawanan, kulihat ada sepeda motor yang datang.
"Pak..pak.. mbonceng sampe desa boleh Pak?" Kataku dengan nada memohon. Yang kuajak bicara hanya memandangku seolah tak percaya.
Pagi ini...
Matahari masih tersenyum seperti biasa..
Pagi ini..
Embun-embun masih menetes seperti sedia kala
Kuharap pula dengan hati yang sama
Masih teguh dengan ketenangan yang sama
Ia datang kepadaku dengan hati-hati. Sesekali kepalanya yang tertutup topi koboi itu melihat kearahku. Kadag kali ia menunduk. Aku bergetar mendengar langkahnya berhenti. Satu meter di sebelahku.
"Mana?"
Aku segera mengeluarkan amplop dari tas kecilku.
"Besok ku tunggu lagi. Dan jangan terlambat." Ucapnya.
Dengan tanpa mendongakkan kepala, wajahnya yang misterius itu masih menyimpan tanya di benakku. Aku hanya takut di guna-guna,
Siang kemarin, aku melihat cahaya terang dari seberang jauh... Sangat terang...
Kulihat, di depannya ada seorang yang amat aku kenal, terdiam,
Tak Kuingat siapa namanya
Hanya saja, ketika aku hendak mencari tempatku untuk bersandar...
Ia datang, dan memberiku tempat duduk di sampingnya... Hm... bukan main senangnya aku... Aku lantas duduk dan menikmati sejuknya suasana siang yang cerah itu...
Ouh.. Aku terbangun dari mimpi... Setelah ku tahu, Dia telah wafat 3 tahun yang lalu....
Ray, kau tahu?
Dengan pura-pura
siap aku datang ke ultahnya Dewika. Baju khas kotak-kotak panjang dengan kaos dalam putih bertuliskan i love surabaya. Rambut yang bergelombang kusisir rapi. Tak lupa jam
tangan kesayanganku kupakai di tangan kiri.
“Kemana Gi? Jadi
ke ultahnya Dewika?” Sapa temenku yang lagi asyik merokok di tepi jendela.
“Iya. Nglegain
yang ngundang.” Kataku tanpa ekspresi kemudian mengambil kunci motorku yang
tergantung di depan almari.
“Sukses bro.”
Kataku tersenyum. Aku hanya mengangkat pundak.
Huwh.. padahal
sudah kalang kabut rasanya. Berangkat. Gak. Berangkat. Gak. Mengingat wajah
dewika, membuatku grogi. Bahkan ketika tidak di hadapannya sekalipun.
Perjalanan pendek yang hanya 3 kilo, serasa hanya 3 meter, karena senyum itu selalu
saja mendadak dan tiba-tiba muncul saat aku melamun.
“Woy mas. Jalan
mas!!!” teriak seseorang ketika kulirik dari kaca helm, traffic lightnya telah
berwarna hijau. Segera kuganti gigi rendah dan tancap gas perlahan-lahan.
Bagaimana
kabarmu? Sekian waktu yang terlewati, telah mengikis sedikit demi sedikit
persahabatan yang telah lama... aku di sini hanya mengingat-ingat yang mungkin
kalian tak ingat. Saat aku mencoba memuntahkan ini, yang ada dalam benakku hanya
satu demi satu kilat peristiwa yang membayang dari sudut kecil memori otakku.
Aku benar-benar sakit. Sambaran-sambaran tonggak kita yang dulu tajam, berbalik
menjadi duri kecil yang teramat menusuk.
Kulepas jaket
yang masih melekat ditubuhku. Mendung justru membuat udara semakin panas.
Termasuk malam ini. Camcorder dan note book kecil yang masih melekat di
tanganku kuletakkan di samping tempatku duduk. Banyak orang masih berlalu
lalang melewati tempatku duduk. Banyak yang hanya ingin bersenang-senang,
meluangkan waktu bersama keluarga, dan ada yang sedang melepas lelah. Terlihat
dari cara mereka berjalan dan berlarian menuju tengah lapang.
Aku mendekati
salah satu dari mereka. Kuperhatikan benar-benar raut mukanya. Sepasang mata
yang sembab dengan bibir keringdan
pandangan kaku ke depan setengah melamun.
“Sendirian?”
Sapaku mencoba mencairkan suasana.
Ia hanya menjawab
dengan gerakan bibir dan setitik air mata yang menetes dari kantung matanya.
Aku rangkul dia dan kubiarkan dia menangis sepuasnya. Dia menatap mataku
lekat...
Alkisah suatu
hari ada seorang putri cantik dari kerajaan megah dan Raja yang Agung di suatu
negeri. Dengan segala kelincahannya, sang putri berhasil memikat hati banyak
rakyatnya, terutama pangeran-pangeran tampandari negeri seberang. Sang putri terkenal dengan kemampuan menulis dan
bernyanyi. Sehingga sering, ketika sang putri berjalan melewati rumah-rumah
rakyat dengan kereta kudanya, rakyat menyambutnya dengan senang hati. Tidak
segan sang putri masuk ke rumah rakyat-rakyat kecil untuk sekedar menengok dan
memberi mereka makanan.
Tanpa sadar, di
luar sana, pangeran-pangeran tengah berperang untuk memperebutkan hati sang
putri. Dan apa yang terjadi?? Banyak dari pasukan kerajaan pangeran yang mati
terbunuh akibat perang itu. Rajautara
dan Raja selatan pun ikut berperang membela putra-putra mahkota mereka. Namun,
tidak membuahkan hasil. Hanya, dendam dan dendam yang membara.
Setelah sang
putri tahu, bahwa ada peperangan diantara banyak kerajaan untuk memperebutkan
dirinya, sang putri segera mengirimkan seorang utusan untuk menyampaikan surat
kepada Raja dan pangeran yang sedang beperang.
Malammu... sungguh menghadirkan gelap di semua
Menanti cahaya rembulan yang tak jua datang
Angkuh..! Angkuh benar sang siraj
Enggan melihatku barang sekejap
Kemana kau wahai rembulan?!
Tak ceria wajahmu di gelap petang
Malammu.. hm.. bukan malamku wahai gelap
Aku hanya ingin, ingin secercah saja
Menjadi penulis, lumayan asyik juga. Kita bisa mengekspresikan apa saja lewat
tulisan. Tentang pengalaman kita, tentang moment-moment penting kita, tentang sesuatu
yang membuat kita senang, atau apapun nanti yang akan kita tulis. Dari menulis juga,
kita bisa terbiasa kreatif. Maksudnya? Karena kita terbiasa berangan-angan
mencari inspirasi, terbiasa memaksa diri untuk menulis, terbiasa peka dengan lingkungan
untuk mencari inspirasi. Nah, jadi di hadapan apapun, dalam konteks apa, karena kebiasaan tadi, kita jadi mudah untuk
mengambil kesempatan-kesempatan menjadi sebuah keuntungan. Saat ini, hobi
menulis bukan hanya jadi hobi loh, kita bisa meraup rupiah dengan
tulisan-tulisan kita.
Murni mengangkat embernya dengan
tergesa-gesa menuju dalam rumah. Tapi sekonyong-konyong ember yang berisi penuh
air itu tumpah seluruhnya ke lantai dapur.
“Murni! Ah, kamu tu! Kotor semua jadinya,
kasian ibuk!” Bentak Alfi pada bocah 6 tahun itu. Segera ia mengambil sapu.
Tapi Murni tak bereaksi. Ia masih tertelungkup diam.
“Murni!” Panggilnya lagi. Alfi
menggerak-gerakkan tubuh Murni. Ditemukannya sepercik darah di pipinya.
“Ya Allah..” Diusap-usapnya kemudian
digendong.
Hari itu, adzan magrib telah berkumandang
dimana-mana. Matahari memancarkan sinar senja yang gelap di ujung barat. Pak
Nurman, ayahnya, sesekali menengok dengan muka muram dan gelisah. Murni tetap
masih tenang di peraduannya.
“Gimana Murni Pak?” Tanya Bu Ikah pada Pak
Nurman malamnya.
“Dia baik saja Bu, kita perlu lebih
berhati-hati lagi.”
“hati-hati bagaimana Pak?”
“Dia Cuma terkena sihir. Murni bakal bangun
3 hari lagi.”
Masih ditatapnya jendela di depannya. Tak ada pemandangan
apapun. Hanya titik-titik embun yang semakin jelas. Sementara di belakang,
kakaknya tengah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Koper-koper besar telah
siap menantinya untuk dibawa. Gambar-gambar di seisi kamar telah bersih.
Tulisan-tulisan yang semula tertempel rapi hanya tinggal bekas-bekas solasi
yang tak rapi.
Lita benar-benar tak siap. Entah sampai kapan dia akan
sanggup duduk di depan jendela tanpa gerakan sekalipun.
“Talita! Ditunggu Papi di ruang makan! Cepet ya, nanti Papi
marah.” Kata kakaknya tanpa membuka pintu kamar. Yah, dia sudah paham apa yang
dilakukan adiknya itu.
Makin malam, hujan semakin deras saja. Suara
rintik-rintiknya semakin terasa. Lita mencoba menggerakkan kakinya sedikit.
Hampir 10 menit dia berusaha mengangkat kakinya hingga bisa berjalan.
Kesemutan.
Wanita berkacamata dengan rambut
depan yang terlihat telah beruban itu menatap sekilas ke arah anaknya berjalan,
ia tersenyum melihat teman-temannya tersenyum melambai ke arahnya. Mobil Inova
hitam itu melaju pelan meninggalkan area pekarangan rumah. Tak lama kemudian
pintu rumah tertutup seiring si pemilik rumah memasuki dalam rumah.
“Bawa bekal apa Ndra? Banyak
banget isi tas kamu?”
“Tau tu Ibu yang bawain. Belum
pada makan kan? Makan aja tu kalo ada cemilan.”
“He.. aku makan ya.”
“Iya, eh jam berapa sekarang
Nji?”
“Jam tiga lima belas.”
Mobil berbelok
ke arah pom bensin.
“Mohon maaf
habis Pak.”
Indra dan
beberapa temannya saling melihat. “Udah limit ni.”
Suasana tepi pantai yang sangat tak asing bagiku. Jembatan
indahnya yang seakan selalu menarikku untuk pergi ke tempat ini. Pasir-pasirnya
yang begitu memesona..... Ah.. seperti dalam film-film saja. Bayangan-bayangan
di waktu itu masih saja bergerak-gerak di atas jembatan itu. Tertawa, sedih,
dan... sangat sedih.
“Lagi apa anak ibuk?” sapa ibuku ramah ketika mengetahuiku
tengah melamun.
“Menikmati sore Buk, jenuh di dalem rumah terus.”
“Ya sudah, tapi jangan sampai magrib ya.”
“Iya buk.” Kataku tersenyum membalas ucapan ibu.
***
“Kapan ni kita berangkat?” kata Aldri.
“iya lama banget tuh orang. Nunggu ampe lumuten ni. Gak
dateng-dateng.” Kataku.
“Gimana kalo kita berangkat duluan. Keburu siang ni? Tar
panas di sananya.”
“Eh, tapi ya jangan gitu donk, tar kalo dia nyasar gimana?
Kita yang nanggung donk.” Celetuk Bagas.
“Pris, temeni aku bentar yuk.” Ucapnya.
“Kemana Gas?”
Tanpa menjawab pertanyaanku, dia langsung menyeret tanganku
dan menjauh dari teman-temanku yang sedang kesal.
Biasanya, jam dua belas seperti ini lagi banyak-banyaknya
anak-anak sekolah yang lagi pada nongkrong di warnet. Facebook-an, twitter-an.
Kebiasaan yang sangat gak baik buat diterusin. Aku udah berulang-ulang kali
memperingatkan, tapi tetap saja, jawabannya, “Mumpung mas, rumah jauh dari waret.” Yah, mau apa dikata. Tapi
tunggu dulu, hari ini sejak dari pagi sampai siang ini pukul setengah satu,
warnet sepi, hanya diisi oleh beberapa orang yang keliatannya sih anak
kuliahan.
“Permisi mbak, ada komputer yang kosong?” Kata salah seorang
pendatang.
“Sebentar ya.” Kataku kemudian mengklak-klik ini itu.
“Ada mbak, komputer nomor 10, tapi di lantai dua.” Kataku
kemudian menunjukkan jalan.
“Eiqa!” Teriak seorang berambut panjang terurai.
“Eh, ? Ada apa mas?”
“Bisa benerin komputer gak kamu? Komputerku rusak tu? Minggu
depan harus kupakai. Aku mau ngerjain tugasku yang seabrek.”
Ruang kelas terlihat lebih gelap dengan terpal yang
terpasang menutupi seluruh teras dan taman depan kelas. Cuaca semakin memanas.
Mendung di mana-mana. Ada yang sedang asik bercanda, bermain hape, dan
bermain-main dengan sound sistem. Aku hanya duduk termangu sambil sesekali
mengernyitkan muka dan memejamkan mata. Sudah ngantuk berat. Kulihat jamku
sudah menunjukan pukul 12.30 siang. Latihan belum juga dimulai. Aku hanya bisa
kesal dengan diriku sendiri.
“Ayo, berkumpul di kelas sebelah.” Kata Pak Yanu
mengarahkan.
Dengan segenap kemalasan, kita berbondong-bondong berdiri dan
berbaris rapi menghadap mikrofon. Aku tengah siap dengan hafalanku. Ini cukup
membuatku pede, batinku.
Kulirik di sebelah kiri, Kepala Sekolah menyaksikan kami
berlatih.
When i lost in the darkness, His bright shine upon me
When i fell in the ravine.. He gives me a bridge and strange His hand to help me
When i laugh and happy because of anything in this world
He show me any sadness, so i stop laughing
When i confuse..
His reason first is to make me understand
When i in sadness..
He laugh me, so i ashame with the tears.....
Teman-teman pasti tidak asing lagi dengan hewan lucu yang
satu ini kan??
Yups, ternyata, dari banyak penelitian dan dari Islam sendiri, menceritakan
bahwa kucing mempunyai keistimewaan yang tidak terpikir oleh kita sebelumnya.
Alkisah suatu hari Nabi Muhammad SAW memiliki
seekor kucing yang diberi nama Mueeza. Suatu saat, dikala nabi hendak mengambil
jubahnya, di temuinya Mueeza sedang terlelap tidur dengan santai diatas
jubahnya. Tak ingin mengganggu hewan kesayangannya itu,
Hari ke 15. Dan diapun belum membuka mata. Aku
berharap-harap cemas pada pasienku yang satu ini. 2 minggu yang lalu, dan
akupun masih ingat dengan jelas peristiwa itu. Ketika sebuah mobil inova melaju
kencang dari arah timur Jl. Kenanga menuju depan Rumah Sakit ini. Sungguh kaget
bukan kepalang, posisiku berada di seberang jalan tepat di sebelah kanan mobil.
Kulihat betul laki-laki itu terjepit dan mencoba untuk keluar. Semua orang
berlari mencoba menolong. Aku justru berlari ke dalam Rumah Sakit kemudian hanya
melihat peristiwa itu dari arah jendela ruang kerjaku, menunggu para perawat yang
lain mengangkatnya ke dalam tandu. Sejenak pikiranku lengang, telingaku
berdengung tak mendengar apapun,
pandanganku gelap.
“Flora.” Sapa perawat yang tanpa sadar telah berada di
samping dan memanggil namaku beberapa kali. Entah berapa lama.
Aku menoleh ke arahnya dengan tanpa tahu raut wajahnya.
“Kamu pucat sekali. Are you alright?” Diena menepuk
pundakku.
Namaku
Soraya. Oleh teman-temanku, aku sering dipanggil Raya. Aku tinggal disebuah
kota tepatnya Mawar asri. Aku tinggal bersama kedua orang tuaku, satu orang
kakak laki-laki dan satu orang kakak perempuan. Kak Yos, begitu nama panggilan
kakakku yang pertama. Dia sekarang tengah menempuh pendidikan S1nya di Jogja
semester 5, sementara, Kak Puput, dia menempuh pendidikan S1nya di Semarang,
semester 1, dan tinggal bersama Kakek dan Nenekku disana.
Aku
sendiri, aku baru saja lulus dari SMA. Tinggal aku yang masih bingung mau
menyambung hidup yang seperti apa. Papa bilang, aku mondok saja,
Dalam malam yang penuh dengan cahaya bulan ini, aku masih terduduk di teras rumah. Kupandangi menyeluruh apa yang bisa kulihat diantara gelap gemerlap malam itu. Meski begitu, tak ada satu hal pun yang mau masuk di pikiranku. Yang justru semakin merasuk adalah bayang-bayang peristiwa seminggu lalu. Pasti dia masih sakit. Dan ini salahku. Salahku... Agghh!
“Van, kamu mau pulang sekarang? Aku ikut ya?” Katanya sembari merangkul di pundakku.
“Aku masih nanti. Pekerjaanku belum selesai. SMS Devi atau Ulfi buat nganter kamu pulang.” Kataku tanpa memperhatikan.
“Pinjem motormu Van.” Katanya sambil mengetik sebuah pesan.
“Tuh di depan. Coba aja kalo bisa. Tadi aku berangkat ke sini sempat mogok.”Kataku.
Dia tak menanggapi omongan terakhirku. Lantas pergi membanting pintu ruanganku membuatku kaget.
“La! Tunggu La!”Teriakku.
Siang itu gue berhasil membuat perhitungan ke Radi. Mukanya udah babak belur, berdarah-darah dan tubuhnya telentng tak berdaya di sebelah tumpukan-tumpukan kardus deket sampah-sampah..
“Salahnya sendiri, macem-macem sama gue!! Emang dia belum tahu gue siapa??” Kata Akfi sambil menyulut rokok di tangannya.
“Dipanggil guru BP, baru tahu rasa! Yach, loe cuma salah ngomong dikit, langsung main tonjok aja.. Loe pikir dia boneka, gak sakit kalo dipukulin??” Kata salah seorang temannya.
“Ah, masa bodoh, gue kan gak urusan sama BP, gue punya urusan sama Radi.” Katanya cuek.
“Sarap loe!!”
“Akfi mau ke mana? Kamu ngrokok lagi?” Kata Yuli.
“Heh.. sok perhatian banged loe ma gue!! Udah, mulai sekarang, kita putus!!”
“Fi, kamu kok gitu! Aku tu cewek kamu, aku udah berusaha nglakuin yang terbaik buat kamu. Berapa kali coba aku bilang kayak gitu, tapi kamu gak pernah menggubris!!”
“Hah, bodo amat..” Akfi lalu berlalu pergi.
“Sabaar Yul..”
Dan jika pun mungkin... maka aku akan tetap bilang tidak mungkin.. karena aku tahu siapa aku. Huwh.. pemandangan siang ini membuatku semakin gerah. Semakin banyak orang yang datang ke tempat ini. Menjual barang-barangnya. Aku termasuk salah satunya. Tapi bersyukurlah aku karena sudah hampir 6 bulan aku berjualan di sini dan pelangganku pun cukup banyak.
“Ayam gorengnya satu porsi berapa?”
“Lima ribu. Mau minta berapa porsi?”
“3 aja.”
“Oh ya, tunggu sebentar ya.”
Aku lantas membungkus 3 porsi ayam goreng ke dalam kardus.
“Ini.”
“Makasih, ini uangnya.”
Dengan tersenyum aku menjawab. “ Sama-sama.”
Tak berapa lama, aku melihat orang berlari-lari ke tengah jalan. Apa yang terjadi?
Tempat yang tak asing bagiku.. dengan pengharapan yang tak banyak. Dan dengan semua yang serba sederhana. 1 tempat tidur, bantal, kasur, tempat masak lengkap dengan peralatan makan. 1 almari baju dan belakang ruang sebagai kamar mandi. Tembok-tembok yang lusuh. Penuh dengan gravity-gravity. Mungkin saja kalau ada yang datang ke tempat ini, akan langsung bilang tak betah. Bukan apa-apa, tapi bisa kubilang lusuh. Oh ya, satu lagi, tempat dimana kucingku sering tidur. Kardus tebal yang kubuka sisi depannya sehingga dia bisa keluar masuk dengan mudah. Kulapisi bagian bawahnya dengan kain. Kain berwarna biru. Sering kupanggil dia Ciko. Ya, dia yang selalu menemani tidur malamku. Yang selalu membuat ruangan ini ramai.
Aku sudah menempatinya hampir sekitar 3 tahun. Kurang lebih 1 kilo dari rumah ini, sering aku berjalan untuk bekerja. Jangan tertawakan aku, karena aku lelaki