DIBENDUNG LUKA
Posted by Unknown , Monday, September 10, 2012 12:44 PM
Masih ditatapnya jendela di depannya. Tak ada pemandangan
apapun. Hanya titik-titik embun yang semakin jelas. Sementara di belakang,
kakaknya tengah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Koper-koper besar telah
siap menantinya untuk dibawa. Gambar-gambar di seisi kamar telah bersih.
Tulisan-tulisan yang semula tertempel rapi hanya tinggal bekas-bekas solasi
yang tak rapi.
Lita benar-benar tak siap. Entah sampai kapan dia akan
sanggup duduk di depan jendela tanpa gerakan sekalipun.
“Talita! Ditunggu Papi di ruang makan! Cepet ya, nanti Papi
marah.” Kata kakaknya tanpa membuka pintu kamar. Yah, dia sudah paham apa yang
dilakukan adiknya itu.
Makin malam, hujan semakin deras saja. Suara
rintik-rintiknya semakin terasa. Lita mencoba menggerakkan kakinya sedikit.
Hampir 10 menit dia berusaha mengangkat kakinya hingga bisa berjalan.
Kesemutan.
“Ya ampuun.. kamu ngapain aja sih?
Makanya gak usah terlalu
dipikirin lah, kamu tu udah gede, ngapain buang-buang waktu buat hal yang gak
perlu. Udah lah, sekarang kamu turun ke ruang makan, udah ditunggu Papi.
Lekas!” Katanya membuka pintu dan melihat Talita terkaget berdiri di samping
ranjang tempat tidur.
Bisa gak sih, ngomong ma aku tu pelan. Kayak aku tu orang
tuli aja, batinnya. Lita menghela napas panjang dan segera menuju ke ruang
makan.
“Makan Lit.” Sapa Maminya ramah. Lita lega mendengar sapaan ibunya.
Kakaknya melihat tanpa reaksi, hanya menatapnya sebentar sambil mengunyah
makanannya.
“Papi mana Mi?”
“Tuh udah berangkat. Lita lama sih, tadi Papi sarapan dulu.”
“Owh.” Tak ada kata lain.
***
Mobil sedannya melaju kencang di tengah jalan raya. Mobil
berplat H 741 AS itu berhenti tepat di depan gerbang. Satpam yang melihatnya
menyambut kedatangannya dengan ramah. Para mahasiswa yang melihatnya turut
memberikan senyum.
“Pagi Pak..”
“Ya, selamat pagi.” Katanya sembari turun dari mobil.
‘nddrrrrt’ndrrrtt’nddrrt” ponselnya bergetar. Talita.
“Pi, tadi mau ngomong apa sama Lita? Kok gak nunggu Lita
turun?”
Papinya tersenyum. “Gak papa Lit, Papi Cuma pengen makan
bareng Lita.”
“yah.. Papi.” Nada manjanya terdengar memelas sambil menutup
telpon.
“Pak Awan, jam 08.45.” Kata salah seorang sesampainya di
ruang dosen.
“Oh iya Pak. Saya siap.” Katanya sembari membuka isi tas dan
mengeluarkan beberapa buku tebal.
‘Pi, Lita berangkat.’ Kata Lita di jendela SMSnya.
‘hati2 Lit, papi harus ngajar sampe sore hari ini. Kamu
ditemeni Kak Elsa.’
***
“Udah siap belum?” Kata Elsa sembari menoleh ke belakang
melihat adiknya yang tengah mengenakan helm.
“Gak ada yang ketinggalan kan?” Kata Ibunya membantu Talita
mengenakan tas ransel.
“Gak ada Mi, Lita berangkat dulu. Mami hati-hati di rumah.
Nanti Lita SMS kalo udah sampe rumah Opa.”
Maminya mengangguk tersenyum. Kemudian melambaikan tangan.
‘Wuss....’ Vario CBSnya melaju kencang. Talita berpegang
erat pada Elsa sambil terus memperhatikan arah depan.
“udah SMS Papi belum?”
“Udah dong Kak.”
“Kakak nanti langsung pulang ya, ada urusan sama
temen-temen. Gak bisa nginep.”
“Yah... setengah hari aja kak.”
“Kapan-kapa aja Kakak jenguk ya.”
“Uwh..”
“Dah gak usah cemberut.” Elsa menoleh ke belakang sambil
tersenyum menerima reaksi adiknya.
Jalan raya sudah mulai macet. Lita hanya menoleh ke kanan
kiri saat kode lampu merah mulai menyala di sela-sela perjalannya yang masih
panjang. Tak dilihatnya bangunan-bangunan yang biasanya terjejer di tepi jalan.
Di sepanjang perjalanannya ia hanya diikuti oleh truk-truk container yang
rodanya hampir sejajar tingginya dengan Lita.
“Eh, ada apa tu Kak?”
Elsa menepikan motornya saat ada penutupan jalan. Sebuah
truk container bertabrakan dengan mobil pick-up.
“Lit, pegangan erat-erat!” Kata Elsa kemudian membelokkan
Varionya dengan kecepatan tinggi.
“Kok Lewat sini Kak?”
“Iya biar gak muter. Bisa lebih cepet.”
“Emang Kakak hafal jalan daerah sekitar sini?”
“Iya lah, Kakak dah sering lewat sini.”
Lagi-lagi hanya. “Owh.”
***
‘Ting’tong’ting’tong’
‘glekk’ ibunya membuka pintu.
“Owh, Andika. Sini masuk dulu.”
“Iya, makasih Tante. Gak usah dibikinin minum loh Tan.”
“Iya, gimana?”
“rumah sepi Tan, Talitanya ada?”
“Wah, Talita baru aja berangkat ke rumah Opanya. Ada yang
bisa tante sampaikan?”
“Oh, dah berangkat ya? Sebenarnya mau ngasih ini. Tapi ya
udah saya titipkan Tante aja.”
“O ya, Tante bawa dulu. Kapan-kapan tante ke sana, Tante
sampaikan ke Talita.”
“Makasih Tan, Dika pamit dulu.”
“Iya.”
***
“Opa?” Kata Lita sambil mengetuk pintu.
“Oma? Opa?” Elsa turut memanggil.
“Opa? Lita dateng ni ma Kak Elsa.”
Tak ada sahutan. 5 menit. 10 menit. 20 menit.
“Haduh Kak, tumben banget Opa pergi keluar. Oma juga. Terus
gimana ni Kak?”
“Ih, diem kenapa sih Lit. Capek denger kamu ngomong terus.
Tunggu aja, tar juga pulang.”
Langit gelap semakin memberi pertanda hujan akan turun.
Sebentar kemudian hujan merayap di seluruh penjuru kota. Tanah-tanah yang
kering, merambat lembab, basah, dan teraliri air. Cipratan air mulai terasa di
kaki Lita. Dia hanya bisa menggerak-gerakkan alisnya tanda telah lelah.
“Talita!” Teriak salah seorang di seberang jalan. Lita
menoleh tiada harap. Opanya melambaikan tangan dari kaca pintu mobil.
“Opa..” Lita berlari menghampiri Opanya. Opanya tersenyum
ramah.
“Cucuku sudah menunggu lama ya?”
“Banget Opa, Opa Oma kemana aja sih?”
“Opamu itu yang suka mendadak. Pralon kamar mandi rusak.
Opamu ngajak Oma ke Toko besi. Ah Opamu ini.” Kata Oma berjalan mendahului
kemudian berjalan membuka pintu depan.
“Kakakmu mana Lit?”
“udah pulang Opa, tadi keburu-buru, ada acara katanya.”
Katanya langsung menuju kamar.
‘pyar!!’ suara itu terdengar nyaring dari arah dapur.
Opanya pingsan diikuti gelas di tangannya yang pecah.
“Papa?” Kata Oma membangunkan Opa. “Lita!”
“Iya Oma. Eh Opa kenapa?” Katanya kemudian membantu Opa
berdiri dan berjala menuju kamarnya.
“Dadaku sakit sekali..” Hanya itu rintihan yang terdengar
dari mulut Opa..
“Lita telfon dokter. Cepet!” kata Oma dengan nada panik.
“iya, iya Oma.”
***
15 menit sudah Oma dan Lita terduduk di ruang tunggu. Tanpa
sepatah katapun. Lita sesekali menatap Omanya yang bersandar di kursi.
‘drrt’drrt’drrt’, Lita terkaget, ponselnya berderit.
“Ta, buku kamu aku kasihkan Mamamu. Dah sampai rumah Oma
blum?”
“Telat!”
‘tuling’tuling’tuling’tuling’
Lita beranjak dari tempat duduknya menuju Lobi.
“Ngapain sih?”
“Yah.. marah ya? Maaf Ta.”
“Kamu tahu kan, buku itu penting buat aku. Sengaja ya?”
“Atau perlu aku anter ke situ? Sekarang juga aku mau.”
“Gak usah.”
“Papa....!” Teriak Oma ketika Opa keluar dari ICU. Lita
menoleh.
“Ta? Talita?” Ucapan Andika tak bersahut lagi.
Talita mengikuti Omanya.
“Gak usah kasih tau Papi Mami mu. Nanti mereka khawatir.”
“Loh, nanti yang mbantu ngerawat Opa siapa pas Lita
sekolah?”
“Udah, kamu tenang saja.”
Lita duduk di samping Oma. Dan yang bisa dilakukannya hanya
diam.
1 minggu kemudian...
Kematian Opa menjadikan luka mendalam bagi Oma terutama, dan
keluarga Lita yang lain. Tapi yang masih menjadi pertanyaan selama ini
adalah... Papi Lita masih belum terlihat datang. Sementara Maminya terlihat
sedang sibuk mempersiapkan kepulangan Papi dan Kakaknya dari Rumah Sakit.
Mereka berdua mengalami kecelakaan bus yang dilaluinya ketika pulang dari Bali.
Kakaknya mengalami patah tulang tangan dan Papinya lumpuh..
“Mi, Lita masih bisa sekolah kan?”
“Iya Lita. Mami yang gantiin Papi bekerja.”
“Kak Elsa gimana?”
“Dia akan baik-baik aja. Udah Lita yang penting konsen
belajar. Udah mau ujian nanti malah keganggu kalo mikirin rumah. Ya, Lita
nemeni Oma.” Kata Omanya.
Air mata Lita meleleh.....
Post a Comment