TERSESAT
Posted by Unknown , Saturday, September 15, 2012 3:59 PM
Murni mengangkat embernya dengan
tergesa-gesa menuju dalam rumah. Tapi sekonyong-konyong ember yang berisi penuh
air itu tumpah seluruhnya ke lantai dapur.
“Murni! Ah, kamu tu! Kotor semua jadinya,
kasian ibuk!” Bentak Alfi pada bocah 6 tahun itu. Segera ia mengambil sapu.
Tapi Murni tak bereaksi. Ia masih tertelungkup diam.
“Murni!” Panggilnya lagi. Alfi
menggerak-gerakkan tubuh Murni. Ditemukannya sepercik darah di pipinya.
“Ya Allah..” Diusap-usapnya kemudian
digendong.
Hari itu, adzan magrib telah berkumandang
dimana-mana. Matahari memancarkan sinar senja yang gelap di ujung barat. Pak
Nurman, ayahnya, sesekali menengok dengan muka muram dan gelisah. Murni tetap
masih tenang di peraduannya.
“Gimana Murni Pak?” Tanya Bu Ikah pada Pak
Nurman malamnya.
“Dia baik saja Bu, kita perlu lebih
berhati-hati lagi.”
“hati-hati bagaimana Pak?”
“Dia Cuma terkena sihir. Murni bakal bangun
3 hari lagi.”
“Apa Pak?”
“Iya Bu. Tidak usah khawatir. Dia baik-baik
saja.”
Bu Ikah lantas menutup muka meninggalkan
Pak Nurman.
Hampir satu hari setelah
kecelakaan yang menimpa Murni, Pak Nurman tak henti-hentinya pergi ke sungai
dekat rumahnya. Katanya, dia akan mencari petunjuk untuk kesembuhan anaknya. Sambil
mencari obat-obat herbal.
“Bapak tu mau apa sih
Pak? Pake acara ke sungai segala. Gak baik Pak, magrib-magrib begini pergi ke sungai.
Sholat dulu Pak.”
“Pengen anakmu sembuh gak
bu? Sudahlah lakukan saja kewajiban ibu. Turuti perintah bapak.” Katanya
kemudian pergi dengan tergesa-gesa dengan sekarung barang-barang entah apa.
Alfi mengintai ayahnya sampai di tembok rumah tetangga. Tapi ayahnya terburu
menghilang ditelan cahaya gelap senja.
“Bapak ngapain Bu? Pergi
terus.”
“Sudah Fi, kita sholat
dulu.” Bu Ikah keluar rumah mengambil air wudlu.
“Aaaaaah Alfiiiii!!!”
“Ibuk, kenapa Buk?” Alfi
tergopoh-gopoh menuju kamar mandi dengan masih mengenakan mukena. Dilihatnya ibunya
tergeletak lemah di sebelah kolam wudlu.
“Kaki ibu terkilir Fi.
Ayo bantu ibu bangun.”
“Kok bisa sih Buk?”
Katanya sambil memapah ibunya ke kamar tidur.
Sejenak setelah ibunya
beristirahat sambil menunggu dukun pijat, Alfi menengok Murni yang masih berada
di kamarnya. Ketika sampai di pintu, Alfi mencium bau busuk keluar dari kamar
Murni. Dengan perasaan was-was dia mendekat ke arah Murni.
“Murni...” Sapanya pada
adik kecilnya itu.
Dielusnya rambut Murni
dengan lembut. Bau busuk itu semakin menyengat. Semakin hari wajah Murni
semakin pucat dan tubuhnya kering. Akhirnya karena tidak betah dengan bau yang
semakin menyengat busuk, Alfi berniat memindah Murni ke kamar tamu di ruang
sebelah. Tubuhnya terasa sangat ringan.
Pak Nurman yang sedari
tadi bertapa di tepi sungai, sebentar kemudiann mulai membuka matanya.
“Hemm....hem...
uhk..uhk.” suara dehaman itu mengagetkannya.
“Sembah hamba Tuanku.
Hamba tengah membawa titipan tuanku. Rambut istriku tiga helai dan
bunga-bungaan di sekitar rumah.” Katanya pada sosok yang tak berwujud itu.
“Letakkan di bawah pohon
itu, di seberang sungai.”
Tanpa ba-bi-bu, Pak
Nurman dengan segera mengangkat karung yang dibawanya tadi, dan mulai
menyeberang sungai. Tapi, diluar dugaan, sungai yang dalamnya bermeter-meter
yang biasa dilewatinya dengan mudah,
kini Pak Nurman berteriak minta tolong karena akan tenggelam. Tak ada
seorangpun di dekat sana.
Setelah dipindahkan ke
kamar tamu, Murni mulai sadarkan diri. Alfi menangis dan memeluk adiknya.
Dibawanya Murni ke kamar ibunya.
“Alhamdulillah Fi, adikmu
sudah bangun. Ibuk selalu berdoa nduk, semoga kita selalu dalam perlindungan
Gusti Allah.” Kata Bu Ikah memeluk anak-anaknya.
“Murni kamu belum sholat
kan? Sholat dulu ya, dianter Mbakmu, nanti baru makan.” Kata ibunya.
“Iya Buk, Murni lapar.”
Ucapnya.
‘tok’tok’tok’
“Ya. Sebentar.” Alfi
bergegas keluar ke arah ruang tamu.
“Pak Nurman ada mbak
Alfi? Ini ada yang mau bertemu.” Kata Pak Yanto. Tetangganya, menunjukkan
seorang di belakangnya.
“Bapak lagi pergi Pak,
mari masuk.” Katanya kemudian memanggil ibunya.
“Ada apa Pak?” sapa
ibunya.
“Begini bu, kedatangan
kami kemari hanya ingin bersilaturahim saja, dan ingin menyampaikan sesuatu terhadap
keluhan warga bu.”
Keluhan warga apa pak?”
kata Alfi.
“warga banyak yang
kehilangan uang, dan setelah ditelusuri, ternyata Pak Nurmanlah pelakunya.”
“Dan lagi, Pak Nurman
sering pergi ke sungai sore hingga malam, dan membuang sampah di dekat sungai.
Setelah dibuka, ternyata isinya sesajen.”
“ini bukan fitnah kan
Pak? Setahu saya, Bapak bekerja sebagai tukang kayu. Bukan pencuri. Dan bapak
juga beribadah.” Dengus Alfi kesal.
“Iya Pak, nanti kalau
suami saya sudah pulang, Bapak tanya sendiri sama Pak Nurman.” Kata Ibu.
“Bu, bu ikah? Bu ikah?!
Pak Nurman meninggal Bu.” Kata Wawan, seorang pemuda desa. Seisi ruang tamu
hanya terbengong. Apalagi bu Ikah. Seolah-olah semua yang sedang ada di
hadapnnya ini adalah mimpi.
Terdengar suara riuh
rendah mendekati rumah bu ikah. Bu ikah, Murni dan Alfi berlarian keluar.
Terlihat beberapa orang membawa tandu dan yang lainnya membawa obor.
“Pak Nurman Bu.” Kata
salah seorang warga.
Dengan raut wajah tak
percaya, Bu Ikah membuka kain yang menutupi sesosok mayat itu. Bu Ikah menjerit
keras diiringi tangis kedua anaknya. Tubuh Pak Nurman terkoyak-koyak penuh
darah. Sebagian anggota tubuhnya hilang seperti termakan binatang buas, dan
kulitnya tengah membiru. Bau busuk pun mulai memenuhi hidung warga, sehingga
mereka yang berdiri di sekelilingnya mulai menjauh. Namun bagaimanapun juga, proses pemakaman
tetap dilakukan. Akhirnya pukul 10 malam, Pak Nurman menempati tempat
terakhirnya.
“Sabar bu Ikah, semua
manusia pasti menemui jalannya sendiri-sendiri.” Kata Ibu-ibu tetangganya
mencoba menghibur.....
Post a Comment