SEPENGGAL TAMAN LALU
Posted by Unknown , Monday, April 23, 2012 10:23 AM
Tempat yang tak asing bagiku.. dengan pengharapan yang tak banyak. Dan dengan semua yang serba sederhana. 1 tempat tidur, bantal, kasur, tempat masak lengkap dengan peralatan makan. 1 almari baju dan belakang ruang sebagai kamar mandi. Tembok-tembok yang lusuh. Penuh dengan gravity-gravity. Mungkin saja kalau ada yang datang ke tempat ini, akan langsung bilang tak betah. Bukan apa-apa, tapi bisa kubilang lusuh. Oh ya, satu lagi, tempat dimana kucingku sering tidur. Kardus tebal yang kubuka sisi depannya sehingga dia bisa keluar masuk dengan mudah. Kulapisi bagian bawahnya dengan kain. Kain berwarna biru. Sering kupanggil dia Ciko. Ya, dia yang selalu menemani tidur malamku. Yang selalu membuat ruangan ini ramai.
Aku sudah menempatinya hampir sekitar 3 tahun. Kurang lebih 1 kilo dari rumah ini, sering aku berjalan untuk bekerja. Jangan tertawakan aku, karena aku lelaki
dan bekerja di salon. Ya, aku bekerja sebagai pemotong rambut. Salon milik Mbak Lilia, salah seorang keturunan Sunda. Dia sangat baik padaku. sering memberiku makan siang ketika dhuhur tiba.
“Kamu gak ganti gaya rambutmu minggu ini Ran?” Katanya sambil tersenyum.
“Gak Mbak, wagu.” Kataku sambil duduk di depan toalet.
“Siang Mbak.. mau potong rambut.” Kata salah seorang yang datang. Aku dan Mbak Lilia menoleh bersamaan.”
“Giliranmu Ran.”
Aku lekas beranjak. Dari perawakan yang kulihat, sepertinya dia masih muda. Mungkin lebih muda dari umurku. Yah, mungkin sekitar 21 tahun. Selama aku memotong rambutnya, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia lebih asyik bermain-main dengan hapenya dan mendengarkan musik. Aku hanya memperhatikan mukanya yang, ya lumayan cantik menurut penilaianku.
“Dian..!” Sapa salah seorang yang masih di ambang pintu. Dari panggilan itu, baru ku tahu namanya Dian.
“Oh.. hai Sep.. Mau potong rambut juga?”
“Iya ni, udah gak enak pake rambut panjang. Eh nanti jadi kan?” katanya kemudian berbisik.
“Hahaha.... Tahu aja loe, Jadi lah..”
Setelah tak lama aku selesai memotong rambutnya, dia beranjak pergi.
Penghasilanku sehari ini lumayan banyak. Kulihat arloji di tanganku, baru pukul 18.00, aku memperlambat langkahku. Aku melihat segerombolan pemuda sedang asyiknya bernyanyi di belakang sebuah gedung futsal dekat tempat tinggalku. Aku mengamati dengan cermat apa yang mereka lakukan. satu orang laki-laki dan satu orang perempuan membawa gitar, 2 orang lainnya membawa kendang, dua orang lagi menyanyi. Aku coba mendengarkan apa yang mereka nyanyikan sambil kusulut putung rokokku untuk menghangatkan tubuh. Di ujung tempatku duduk, tiba-tiba kudengar suara kucing yang sedang bertengkar. Kucoba dekati. Ah, Ciko. Dia berlari ke arahku, dengan tangannya yang sedikit berdarah. Aku teringat belum memberi makan dia siang tadi. Kugendong dia, sampai di dekat gerombolan tadi, Ciko tiba-tiba lari dan mendekat. Mereka lalu memberinya sedikit potongan daging.
“Ciko..! Ciko..!” Teriakku.
“Hey, gabung sini Bro!”
Aku tersenyum lalu mendekat.
“Kalian semua pada pinter main musik.” Kataku
“Ah, gak juga, ni lagi latihan.”
“Latihan? Emang ada lomba?” Kataku sambil memangku si Ciko.
“Ada kompetisi tuh, di lapangan Yon. Minggu depan jam 9. Loe mau ikut?”
“Ah, aku gak bisa main begituan.”
“Dia kan bisanya motong rambut sama nyalon.” Kata salah seorang yang duduk membelakangi kami yang sedang berbincang-bincang.
“Iya, aku emang kerja di salon. Aku pulang dulu.”Kataku sebel mendengar kata-katanya barusan.
Sampai di dalam rumah, Ciko langsung turun dan melahab ikan asin yang terpapah di samping kardus. Ah siapa pula yang meletakkan ini, batinku. Sudah seminggu ini selalu ada makanan buat Ciko. Entah itu ikan asing, daging ayam, atau presto. Tak urung, sekarang Ciko tampak lebih gendut dari biasanya.
Pagi-pagi sekali aku bangun. Ciko masih lelap di atas tempat tidurku. Aku biarkan dia. Sampainya di jembatan, kulihat Dian tengah berjalan berlawanan arah denganku. Berharap-harap cemas dengan telah menyiapakn senyum. Tapi aku melongo ketika dengan cepat dia lewat di sampingku tanpa kata-kata bahkan tatapan sekalipun. Hah..
“Hey.. Dian.. aku mau ikut kompetisi itu.” Dia hanya menoleh.
“Ran, nanti kamu aku tingal ya, aku harus ke Solo nganter Mama. Nanti aku kasih kunci, tolong kamu dulu yang urus.” Kata Lilia.
“Ada acara apa Mbak?”
“Nikahan adik sepupuku.” Katanya kemudian.
“Ya. Serahkan aja sama aku Mbak.”
“OK. Aku pergi dulu.” Katanya lantas memasuki mobil.
Benar-benar lelah seharian bekerja sendiri. Aduh terkadang juga pekerjaanku aku lakukan tidak sempurna. Saking banyaknya pelanggan yang datang.
Pukul tiga sore......
Aku putuskan untuk pulang. Jalan kaki saja. Lewat jembatan itu lagi. Kataku dalam hati.
‘Brakkkk’ bunyi itu aku temukan dari sebuah rumah kosong tak jauh dari jalan yang kulewati. kuintip dari jendela. Lilia! Ya, betul. Itu lilia, dan Lelaki itu yang aku temui beberapa malam lalu di belakang gedung futsal bersama gengnya yang sedang menyanyi.
“Hoh.. Lilia... ternyata..”
“Hey..!!” Kataku ketika kulihat seorang wanita tengah berada di dalam kamarku. Ia kaget kemudian lekas-lekas berdiri mendengar sentakanku. Kulihat sepotong daging ia letakkan disebelah kardus Ciko.
“Kucing ini milikku, sebelum kamu menemukannya. Kalo emang kamu mau merawat dia, gak papa. Keluargaku gak suka kucing.” Katanya.
“Rumahmu di mana?”
“Tuh, perumahan di seberang sungai.”
“Oh, maaf, tempatku kotor.”
“Ya, udah tau. Aku udah sering ke sini.” Jawabnya tanpa ekspresi.
Aku hanya manggut-manggut mendengar ucapannya.
**********
‘tak ‘dug’ dug’ tak’ musik itu bergema keras sekali. Aku mencoba bermain gitar sebisaku. Yang lain berdengung kecil menyanyi.
‘plakk’ kami semua berhenti. Sebuah pukulan tepat mengenai pipi Hardi.
“Mau apa loe!! Sembarangan mukul-mukul gue!!”
“Loe janji malam ini juga loe mau bayar! Mana!”
“Heh! Kita udah berusaha mau bayar lewat kompetisi itu. Tolong hargai usaha kita.” Yang lain ikut menimpali.
Namun akhirnya perkelahian tak bisa terelakkan. Aku hanya mematung, tapi lama-lama kesal juga hingga akhirnya ikut meninju ke sana kemari. Tiba-tiba sebuah pukulan keras menghantam pundakku dari belakang. Perih, sakit, pusing.... aku tak sadarkan diri.
“Meaw... meaw...meaw..” Suara Ciko membuatku terbangun. Dia kemudian tidur di samping kakiku. Aku mengira-ngira. Ini subuh hari. Badanku masih terasa remuk karena perkelahian semalam. Kugendong Ciko menuju rumah.
Hah.. mataku melotot melihat pemandangan yang baru saja sampai di mataku. Rumahku roboh, semua barangnya dikeluarkan. Termasuk kardus Ciko.
“Apa-apaan ini!” Ucapku kesal. Namun setelah kubuka-buka, tak ada satu barangpun yang hilang. Yah, syukur. Berarti tinggal mencari tempat yang baru saja. Setelah membersihkana diri, aku tetap bertekat bekerja hari ini. Meskipun entah nanti lelahnya seperti apa.
‘Disewakan’ kata-kata itu yang kulihat cermat-cermat. Sungguh tak percaya ini. apa lagi ini. kenapa tiba-tiba ditutup, tanpa memberi tahu aku. Dan satu lagi, aku kehilangan pekerjaan. Kenapa semua membuat aku tak mengerti. Hah...!! Kutendang apapun yang ada dihadapan. Aku cuma duduk. Memandang semua yang seperti mimpi. Apa salahku? Kompetisi tinggal dua hari lagi. Sementara semua... berantakan.
“Mas, mas” panggilku.
“Ya, ada apa mas?” jawabnya.
“Sejak kapan tempat ini disewakan?”
“Kemarin malam. Ada pertengkaran hebat antara Mbak Lilia dan klompotan orang tak dikenal. Akhirnya malam itu juga Mbak Lilia pindah rumah.”
“Pindah ke mana Mas?”
“Wah kurang tahu tu Mas.”
“Oh ya, makasih ya Mas.”
********
“Mari kita sambut........” riuk ramai terdengar di atas panggung.
‘Aku hamil. Dan kamu dituduh menghamili aku. Maaf, tapi semua utang sudah kubayar. Aku pergi. Lilia’
Dasar wanita jalang! Batinku. Rumus dari mana? Aku bisa dituduh? Kulihat Dian dan teman-temannya berada di atas panggung.
‘Kamu di mana pengecut? Naik panggung sini.’ Sms dari Loli.
Aku segera berlari di antara desak-desakkan orang. Huh Tuhan.. baru kali ini aku berada di panggung seperti ini. Tapi keajaiban Tuhan, semua kulalui dengan lancar. Setelah semua kontestan tampil. Para juri kemudian mengumumkan hasilnya. Juara satu sampai tiga disebutkan. Hah, kita sudah berharap-harap cemas. Juara harapan disebutkan. Dan....... loss... Hardi menunduk lesu. Pasti dalam pikirannya masih terpikir tentang hutang itu. Aku tepuk bahunya dan kuperlihatkan sms Lilia tentang pembayaran hutang alat-alat musiknya. Dia menoleh.
“Ayah.. lihat ini, banyak kupu-kupu.” Kata Sahfa putriku. Jofi, Istriku hanya mengikuti kemana anak itu berlari. 6 tahun yang lalu. Sekarang tempat ini telah berubah menjadi sebuah taman wisata yang asri.
“Ayok Yah,” Sahfa menggandeng tanganku..
“Ayo Mas, pulang..” Katanya sembari tersenyum..
Post a Comment