DALAM SUNYI
Posted by Unknown , Tuesday, April 24, 2012 3:16 PM
Hari ke 15. Dan diapun belum membuka mata. Aku
berharap-harap cemas pada pasienku yang satu ini. 2 minggu yang lalu, dan
akupun masih ingat dengan jelas peristiwa itu. Ketika sebuah mobil inova melaju
kencang dari arah timur Jl. Kenanga menuju depan Rumah Sakit ini. Sungguh kaget
bukan kepalang, posisiku berada di seberang jalan tepat di sebelah kanan mobil.
Kulihat betul laki-laki itu terjepit dan mencoba untuk keluar. Semua orang
berlari mencoba menolong. Aku justru berlari ke dalam Rumah Sakit kemudian hanya
melihat peristiwa itu dari arah jendela ruang kerjaku, menunggu para perawat yang
lain mengangkatnya ke dalam tandu. Sejenak pikiranku lengang, telingaku
berdengung tak mendengar apapun,
pandanganku gelap.
“Flora.” Sapa perawat yang tanpa sadar telah berada di
samping dan memanggil namaku beberapa kali. Entah berapa lama.
Aku menoleh ke arahnya dengan tanpa tahu raut wajahnya.
“Kamu pucat sekali. Are you alright?” Diena menepuk
pundakku.
“I’m a little bit shock. I was beside the accident.” Kataku
yang sedari tadi masih berdiri di belakang jendela.
“Istirahat dulu. I’ll handle the patient.”
“OK.” Jawabku. Semenjak sore itu, aktifitasku agak sedikit
terganggu. Aku lebih sedikit mementingkan kesehatanku yang menurun dari pada
pekerjaanku. Tapi untunglah aku punya Diena. Sahabatku yang satu itu. Dia
membantuku banyak, mengurus pasien-pasienku dan merekap semua keperluannya,
sehingga tak lama, kesehatanku berangsur-angsur pulih. 4 hari setelah
kecelakaan itu terjadi, aku sering lembur dan jaga malam untuk melihat
perkembangan pasien.
“Jefendi Surya Adritama.” Aku mengeja tulisan-tulisan di KTP
itu. Kulihat dari dompetnya, dia bekerja di sebuah perusahaan bea cukai di kota
seberang. Umurnya baru 23 tahun. Lebih muda 2 tahun dariku.
Pukul 8 malam.
“Halo?”
“Iya Mas.”
“Pulang jam berapa Ra?”
“Jam 10. Mas udah di rumah?”
“Iya. Nanti telfon atau sms, Mas jemput.”
“Oh ya. Makasih ya Mas.”
“Ya, Assalamualaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”
Rumah Sakit masih ramai dengan aktifitas orang-orang. Malam yang begitu dingin. Langit mendung
selalu menghiasi beberapa malam terakhir ini. Bunga-bunga taman menari
mendayu-dayu menerima kejatuhan air hujan yang tak menentu. Koridor terlihat
agak becek karena tetes air dari asbes atap.
“Suster Flora. Ke ruang UGD.” Kata Dokter Usman yang
tiba-tiba ketika aku mengangkat telfon hape.
Aku bergegas ke ruang UGD dengan mengenakan pakaian operasi.
Kulihat di sana seorang wanita yang hendak melahirkan dan terjadi pendarahan
berat. Dia pingsan selama 2 jam. Dokter Usman telah memutuskan untuk melakukan
operasi ceisar. Kurang lebih 1 jam operasi dilakukan. Aku menimbang dan
memandikan bayi itu. Laki-laki. Kukecup keningnya dan kuhangati dia dengan kain
lalu mengantarnya ke ruang rawat bayi.
Pukul 10 malam.
Aku masuk ke ruangannya. Hening, beberapa orang yang lain
sudah tertidur. Detak jantungnya masih stabil seperti hari biasanya. Tapi
matanya masih memejam. Dari ketenangannya itu, bisa kubaca, dia orang yang
bersahaja dan berwibawa. Mungkin saja dia dalam perjalanan kerja, karena dari
penampilan pertama setelah kecelakaan itu, dia mengenakan hem panjang berwarna
krem dan celana coklat tua. Aku berjalan menuju kelambu sebelahnya. Kulihat
seorang nenek yang tertidur miring. Aku yakinkan dia tidur. Tapi setelah tak
berapa lama, kuperhatikan, di tangannya ada sebuah tasbih, dan dari mulutnya
kulihat berkecamuk ucapan-ucapan dzikir. Aku periksa infusnya. Masih setengah.
Mungkin melihat aku tengah di belakangnya, dia menelentangkan tubuhnya. Tapi
dugaanku salah. Dia telentang sambil merapatkan tangannya ke perut dan sedikit
mata terbuka. Mulutnya terbuka agak lebar. Kucoba dekatkan telingaku ke arah
mulutnya.
“La ilaaha illallah.” Kudengar suaranya sedikit terbata. Aku
agak merinding juga. Kuperiksa detak jantungnya. Berhenti. Aku segera
menghubungi perawat yang lain untuk merawat jenazahnya. Aku berjalan ke tirai
yang satunya lagi. Kulihat ada anak kecil, menurut perkiraanku umurnya sekitar
14 tahun. Orang tuanya tertidur di karpet bawah di samping ranjang anak itu.
Tidurnya lelap sekali. Mukanya pucat, pipinya tirus kecil, berat badannya pun
kira-kira hanya 30 Kg. Kulihat tulisan di depan ranjangnya. Muntaber. Kuganti
infusnya dengan infus yang baru.
‘Ra, aku di ruang tunggu.’ Kata Mas Edi.
‘Ya, sebentar.’
Aku berjalan lagi ke ruang kerjaku. Mengambil tas dan kaca
mataku.
“Yuk pulang Mas. Dah nunggu lama?” Kataku.
“Baru aja dateng.”
“Suster.” Sapa salah seorang dari arah belakangku.
“Ya.” Aku menoleh. Kutatapi wajah wanita itu. Dari tangannya
ada seorang bayi.
“Ive?” Dia menatapku lekat.
“Flora.”
“Ayo ikut sama aku.” Kataku menggandeng tangannya. Mas Edi
berjalan disampingku.
Pukul 12.00
“Gimana critanya kamu bisa sampe di sini Ve?”
“Aku.. aku mau pergi ke rumah saudaraku.” Ucapnya sambil
menidurkan anaknya.
“Hm.. saudara kamu dimana? Kamu sendiri dari rumah? Apa
boleh sama suamimu? Lagian kamu pas hari lahiran anakmu begini.” Kataku
“Aku pusing Ra.”
“Kenapa?”
“Apa aku harus cerita?”
“Ya, terserah kamu. Kalau aku bisa bantu, aku bantu Ve.”
“Aku malu Ra.”
“Ve, aku sahabatmu. Mulai sejak kapan kamu bilang malu
cerita sama aku. Kita sama-sama wanita.” Bujukku.
“Aku sebenarnya mencari suamiku. Sudah beberapa hari ini,
dia gak ada kabar. Katanya peusahaannya menempatkan kerja di kota ini. tapi,
hapenya tidak aktif, kantornya juga menghubungiku, dia belum sampai di
kantornya. Aku bingung harus gimana? Aku gak tahu gimana caranya? Gimana nemuin
dia.”
Aku terdiam beberapa saat.
“Mbak Ive rumahnya mana?” Kata suamiku ikut menimpali.
“Salatiga Mas.” Jawabnya singkat.
“Kita bakalan bantu kamu. Sebisa kita.”
Dia hanya mengangguk pasrah.
‘Pasien kamar no.12 udah siuman’ sms dari Diena.
“Siapan Ra?” Tanya Ive.
“Dia pasien yang kecelakaan di Rumah Sakit. Udah 15 hari,
baru malam ini siuman.”
Keesokan paginya...
Kubiarkan Ive membuka-buka data-data pasienku yang tergeletak
di meja kerjaku.
“Flora....” Ucapnya lesu.
“Ya Ve.” Kataku tanpa memandang ke arahnya.
“Lelaki itu...” Aku menoleh.
Ive menutup muka menangis...
Post a Comment