THE LAST DAY
Posted by Unknown , Monday, April 23, 2012 10:25 AM
Dan jika pun mungkin... maka aku akan tetap bilang tidak mungkin.. karena aku tahu siapa aku. Huwh.. pemandangan siang ini membuatku semakin gerah. Semakin banyak orang yang datang ke tempat ini. Menjual barang-barangnya. Aku termasuk salah satunya. Tapi bersyukurlah aku karena sudah hampir 6 bulan aku berjualan di sini dan pelangganku pun cukup banyak.
“Ayam gorengnya satu porsi berapa?”
“Lima ribu. Mau minta berapa porsi?”
“3 aja.”
“Oh ya, tunggu sebentar ya.”
Aku lantas membungkus 3 porsi ayam goreng ke dalam kardus.
“Ini.”
“Makasih, ini uangnya.”
Dengan tersenyum aku menjawab. “ Sama-sama.”
Tak berapa lama, aku melihat orang berlari-lari ke tengah jalan. Apa yang terjadi?
Kucoba mendekat. Dan.... tidak berhasil. Terlalu banyak orang di dekat sana. Aku tidak bisa melihat siapa yang jatuh kecelakaan hingga semua orang berebut untuk melihat. Aku kembali ke warungku dengan tanpa penasaran. Aku terduduk di balik almari kaca tempat aku menaruh daganganku.
“ting’ting’ting’ hapeku berbunyi.
“Mar, hari ini aku ke rumahmu ya. Bisa kan?”
Aku tersenyum menerima SMS itu.
“Aku masih di pasar. Kalo mau, dateng aja kesini.”
10 menit, 20 menit. Tidak ada balasan. Tanpa sadar aku memperhatikan perilaku orang-orang yang mengangkat orang yang kecelakaan tadi.
Eh.. dia, bukannya tadi yang membeli ayam gorengku? Ternyata masih muda. Kira-kira seumuran denganku. Ya, seumuran denganku. Para ibu pasar mencoba mengangkatnya ke dalam mobil, yang kupikir, mungkin dia yang menabrak.
“Tadi itu anak mana Buk?” seorang ibu yang berjualan di damping warungku menoleh.
“Namanya Yurika, anak orang kaya di desa sebelah. Anaknya baik. Tapi agak pendiam.”
“Hoh..” Kataku mendengar penjelasan singkat darinya.
“Hey!!”
“Aahh!!” Kataku menjerit melihat Riska tengah meringis di belakangku.
“Ngagetin tau!! Hah!” Kataku kesal. Tanpa komando, dia mengikutiku masuk.
“Wah, laris ni dagangannya?” tanyanya sambil melihat-lihat ruanganku.
“Yah, alhamdulillah.”
“Kamu gak masuk sekolah lagi hari ini Mar? Ada ulangannya pak Deri. Tadi Fisika juga diambil penilaian pas praktikum.”
“Gak tau Ris.”
“Hei.. ada apa lagi kamu?” Katanya sembari memaksa mukaku untuk menatap wajahnya.
“Aku belum siap ulangan.”
“Haalaah... bo’ong banget itu. Sar, biasanya juga kamu bilang gak siap, nilai kamu tetep bagus.” Katanya.
“Aku pengen berhenti sekolah.” Kata-kata itu mungkin mengejutkannya.
“Kenapa? Apa gak sayang?” Dia mencoba membujukku di tengah kesibukanku menutup warung.
Aku hanya menghembuskan nafas panjang...
*****
“Kak, Ibu belum makan.” Aku hanya diam. Menghitung-hitung penghasilanku hari ini.
“Kak..” Widya merengek.
“Iya! Kamu gak bilang pun aku tahu. Kakak juga belum makan. Kamu belum makan. Adikmu belum makan!” ketusku kesal. Malam-malam begini mau cari makan dimana? Ayam goreng daganganku sudah habis. Aku berjalan keluar, lalu kuputuskan untuk datang ke rumah Mbok Riah.
“Mbok, nasinya masih?” tanyaku.
“Masih cah ayu. Mau beli?”
“Iya mbok, minta 3 bungkus.”
10 menit aku menunggu.
“Ini mbok kasih satu lagi. Buat Ibu.” Katanya tersenyum.
“Eh, gak usah mbok, ini aja.”
“Gak papa, dibawa saja. Ayo, dibawa. Salam buat Ibu.”
“Iya mbok, makasih banyak.”
‘kreeek’ aku diam. Riska menoleh menerima kedatanganku. Adik dan ibu tengah melahab makanan yang dibawanya.
“Buat kamu satu Sar.” Dia memberiku satu nasi bungkus.
‘bruuk’ kuuncalkan plastik berisi nasi yang baru saja kubeli. Kukunci kamar rapat-rapat. Aku terduduk di depan almari.
“Marie... makan Nak,” Kata Ibu.
Aku mencoba mengatur nafas dan menangis sejadi-jadinya. Malam itu juga, dengan pikiran yang masih kalut, aku mencoba terlelap tidur.
“Mar, kamu kenapa? Makan yuk, ni Ibu lagi makan juga. Nanti kamu sakit. Besok kamu kan sekolah. Ayolah Mar.” Kututup erat telingaku dengan guling.
Pukul dua dini hari. Aku tak bisa tidur lagi. Lampu kunyalakan. Dan pikiran itu muncul lagi. Buku-buku sekolahku yang masih berceceran di meja belajar, membuatku muak. Kuambil kardus besar dari dapur Ibu dan kukemas buku-buku itu menjadi satu. Kuletakkan di bawah tempat tidur. Hape menyala, ada 8 pesan dan 5 panggilan. Dari Riska. Kuhapus semua tanpa ku baca. Kudengar suara sandal Ibu menuju dapur. Mungkin mau siap-siap dagang lagi untuk hari ini.
“Bu..” sapaku.
“Eh, sudah bangun Sar.”
Aku mengangguk.
“Assalamualakum...” kata salah seorang di luar pintu. Aku bergegas membukakan pintu.
Termangu. Dia menatapku lama sekali, dengan rambut yang tergerai basah ke depan. Mungkin karena hujan yang mengguyur tubuhnya. Atau mungkin juga, mengingat-ingat aku.
“Masuk dulu.” Kataku kemudian dia duduk di kursi ruang tamu.
“Punya mantol gak? Aku kehujanan.”
“Wah, gak punya tuh, tapi kamu bisa pinjam dulu bajuku. Percuma pake mantol kalo udah basah kuyub begitu.” Tegasku sambil membuatkan dia minum.
“Diminum ni.”
“Ya, makasih.”
“Kerja dimana? Dini hari gini baru pulang?”
“Kerja di pabrik. Shift malam. Oh ya, aku Yurika.” Katanya mengulurkan tangan.
“Aku Marie.”
“Pagi-pagi gini ngapain?” Katanya sambil menyeruput teh hangat yang kubuat.
“Bantu ibuku masak. Buat dijual.”
“Oh..”
*******
“Orang tua kamu kan mampu? Kenapa kamu masih mau bekerja sekeras gini?” Tanyaku.
“Ketiga orang kakakku meninggal gara-gara kena penyakit. Orang tuaku sudah kehabisan uang untuk membiayai pengobatan. Aku gak mau jadi yang keempat.” Ucapnya sambil melipat pakaian.
“Jangan ngomong gitu ah, bagaimanapun, orang tua kita kan masih punya tanggung jawab untuk menghidupi kita.”
“Oh, kalo gitu, aku boleh juga donk tanya ma kamu. Kenapa kamu rela memutus sekolahmu dan kerja?”
“Ibuku sakit, tau kan? Aku gak mau ngliat dia sakit-sakitan sambil kerja keras, sementara aku enak pergi ke sekolah. Dalam keadaan yang lain juga, adik-adikku masih butuh banyak biaya untuk sekolah.” Dia menatapku sejenak, kemudian menoleh.
Aku bingung, benar-benar bingung! Udah gak punya semangat sekolah lagi. Tapi sayang, karena tinggal beberapa tahap lagi aku Ujian Akhir. Tapi, melihat pengeluaran yang semakin menggunung, dan Ibu yang tengah sakit, aku jadi harus membantu bekerja. Dari sekolah pun tak ada respon apapun. Ibu juga tak memberi pilihan, apa aku harus sekolah, atau bekerja.
Suatu malam, Ibu mendadak harus dilarikan ke Rumah Sakit karena tiba-tiba mulutnya mengeluarkan darah. Aku benar pasrah. Entah kalo ada pertolongan dari mana, itu dari Tuhan.
“Yurika..” Sapaku ketika dia berada di koridor Rumah Sakit. Entah terkejut atau apa, dia malah berlari melihatku. Kenapa?
Sudah beberapa hari ini aku tak bertemu dengan Yurika. Dia menghilang entha kemana. Padahal setiap hari, dia selalu menyempatkan waktu untuk mampir ke rumah.
“Adik, putri Ibu Ana?”
“Iya Dokter.”
“Ibu biar istirahat di sini dulu ya, biar kondisinya kembali pulih.” Katanya lantas memberiku resep obat. Tanpa menjawab perkataan Dokter itu, aku meninggalkan ruangan yang penuh bau obat.
‘Marie... gimana keadaan Ibu? Hari ini hari terakhir seleksi beasiswa. Kamu mau ikut gak?’
‘beasiswa apa?’
‘seperti yang aku katakan di sms seminggu lalu. Masih ingat?’
Aku berdiri di gerbang sekolah. Semua mata tertuju pada penampilanku. Awut-awutan.
“Uang itu dikelola sekolah atau tunai dikasihkan ke siswa?” Tanyaku kemudian pada Staff Sekolah.
“Dikasihkan ke siswa. Jadi nanti tiap bulannya siswa yang menyerahkan ke sekolah.”
“Kalo seumpama saya menggunakan uang itu bukan untuk keperluan sekolah? Apa boleh?” dia terdiam.
“Ya, itu hak kamu. Yang penting kamu bisa melunasi pembayaran sekolah.”
Aku bawa uang itu ke apotik. Segera kutebus obat dari Dokter kemarin ke Apotik Rumah sakit.
“Yurika....!!” Teriakku ketika kulihat dia tengah berjalan keluar Rumah Sakit. Dia hanya menatapku diam. Dan dalam kediamannya itu, entah apa yang ada di benaknya. Aku menyeretnya keluar menuju taman.
Dia hanya menangis. Aku menemukan sesuatu yang aneh darinya. Dia hanya sibuk dengan ponsel dan telfon yang menghubunginya. Tapi tak satupun kata yang keluar dari mulutnya. Apa dia sunggh sedang bersedih?
“Yuri.. kamu dah lama gak main ke rumah? Lagi banyak kerjaan ya? Ibu dah seminggu di rumah sakit ini. kondisinya belum juga membaik.” Kataku. Dan... dia hanya diam.
Seseorang menepuk bahu Yurika dari belakang. Kemudian menggerak-gerakan tangannya seperti menunjukkan sebuah isyarat untuknya. Yurika mengangguk kemudian pergi bersamanya. Hah... dia tak bisa bicara. Aku mengelus dada.
“Buk.. ini Marie.. ibuk minum obat ya.. biar cepet sembuh.”Kataku lirih. Ibu hanya tersenyum dan mengelus rambutku.
“Ibu gak papa.. kamu sudah makan belum? Adik-adikmu tadi kesini membawa makanan.”
“Aku gak laper Buk.” Kataku mencium-cium tangan Ibu. Rasa-rasanya penat sekali. Kulihat jam sudah pukul 4 sore. Perutku sudah mengajak berperang. Karena kuingat, kemarin sore jam ini juga aku makan. Aku harus menengok adik-adikku di pasar. Tapi...
“Buk..” kepalaku berputar-putar dan... aku tak sadarkan diri.
Riska mencoba memberi aku minum. Dia duduk di ranjang tempat Ibu berbaring... Ibu sudah tidak ada di sana...
Post a Comment