DALAM REMBULAN YANG SAMA
Posted by Unknown , Monday, April 23, 2012 10:29 AM
Dalam malam yang penuh dengan cahaya bulan ini, aku masih terduduk di teras rumah. Kupandangi menyeluruh apa yang bisa kulihat diantara gelap gemerlap malam itu. Meski begitu, tak ada satu hal pun yang mau masuk di pikiranku. Yang justru semakin merasuk adalah bayang-bayang peristiwa seminggu lalu. Pasti dia masih sakit. Dan ini salahku. Salahku... Agghh!
“Van, kamu mau pulang sekarang? Aku ikut ya?” Katanya sembari merangkul di pundakku.
“Aku masih nanti. Pekerjaanku belum selesai. SMS Devi atau Ulfi buat nganter kamu pulang.” Kataku tanpa memperhatikan.
“Pinjem motormu Van.” Katanya sambil mengetik sebuah pesan.
“Tuh di depan. Coba aja kalo bisa. Tadi aku berangkat ke sini sempat mogok.”Kataku.
Dia tak menanggapi omongan terakhirku. Lantas pergi membanting pintu ruanganku membuatku kaget.
“La! Tunggu La!”Teriakku.
Sampai di luar ruang, aku terdiam sebentar. Kupandangi cahaya-cahaya yang persis seperti malam ini. Dia tak ada dimanapun.
Kamu memang selalu mementingkan sendiri urusanmu ketimbang aku. Dari dulu, aku sudah cukup sabar, tapi untuk malam ini.... tidak!
Katanya yang dikirim lewat SMS. Kemudian kurasakan Hpku bergetar. Lalu segera kuambil dari saku bajuku.
“An... Ana!” Panggilku. Tapi dia tidak memberi jawaban. Sepi di seberang sana. Dia dimana? Kucoba tidak mematikan ponselku. Kuhampiri motorku dan menyusuri sepanjang jalan yang mungkin dilalui. Tapi apa iya dia jalan kaki malam-malam begini. Dia kan penakut. Lagi pula, asmanya akan kambuh berjalan di tengah malam yang dingin begini.
Kataku dalam hati. Sampai di depan rumahnya, aku berhenti. Dari tempat kerja, rumahnya hanya berjarak 5 Km. Aku hanya melihat adik perempuannya masih di ruang tamu. 10 menit aku berdiri di depan gerbang. Dan tak kudapati Ana di dalam rumah. Aku semakin kalang kabut. Niat hendak masuk ke rumahnya kuurungkan. Sudah pukul 10 malam.
‘An... gak papa kan? Udah sampai di rumah kan? Udah tidur ya?’ Kataku lewat SMS mencoba meredam rasa khawatirku. Tapi tetap saja. Tidak ada balasan.
“Oh Tuhan....” Kataku menutup wajah dan tertunduk di atas sepeda motor. Tiba-tiba aku terhenyak.
“Devi... Ulvi...” Aku langsung menghubungi ponselnya.
‘Tut...tut...tut...’ Tidak ada jawaban juga.
“Ulvi??”Sapaku.
“Ya Van.. Ada apa tumben malem-malem telfon? Masih di kantor ya?”
“Kamu udah pulang?”
“Aneh. Ya udahlah. Tadi sama Devi. Kenapa? Butuh bantuan?”
“Ana.”
“Ana? Ana kenapa?” Aku diam dengan pertanyaan itu.
“Irvan? Halo?”
“Aku gak nganter dia pulang malam ini.”
“So?”
“Dia marah dan pergi entah kemana sekarang?”
“Duh..” Katanya mendiamkanku sejenak.
Malam itu juga, aku pergi ke rumah Ulfi dan segera merencanakan untuk mencari Ana. Aku mencoba menghubungi adiknya. Dia bilang, Ana belum pulang. Ku datangi semua kerabat dekatnya dengan alasan bermacam-macam. Mulai dari meminjam mantol karena memang malam itu hujan, sampai ah, tak tau lagi mau bilang dengan alasan apa. Semua nihil. Ana tidak ada di sana.
Malam sudah pukul satu. Dengan napas terengah-engah karena dingin yang sangat, aku masih duduk di atas motorku. Kali ini aku sudah berada di depan kantor.
“Mas Irvan? Belum pulang?” Kata Doni, salah seorang warga yang tinggal di sekitar kantor.
“Kamu Don, belum. Mau apa malem-malem begini keluar?” Tayaku.
“Mau ke tempat Pak Harjo, mau pinjem mobil. Mau nganter ke Rumah Sakit.”
“Oh, bisa kuantar? Mumpung aku bawa motor ni.” Kataku menatap wajah Doni.
“Oh, boleh, terima kasih Mas.” Katanya kemudian menaiki sepedaku.
Tak berselang lama, kami sampai. Doni turun dan berdiri sambil berkacak pinggang melihat semua lampu rumah telah padam. Mobil yang mau dia pinjampun tidak ada di garasi.
“Siapa yang sakit sih Don?”
“Kayaknya aku pernah lihat, dia masuk kantormu. Mungkin orang kantormu itu, tadi ketika aku pulang kerja, aku lihat dia pinsan di depan rumah. Mungkin dia sakit. Jadi sama orang tuaku langsung dibawa ke dalam.”
“Ana...” Kataku.
“Apa Mas?” Tanyanya kemudian.
“Ya ayo, ke rumahmu saja.” Kataku kemudian tancap gas.
“Dimana Ras orang tadi?” Tanya Doni pada Kakaknya.
“Udah dibawa ke rumah sakit. Kamu kelamaan sih.” Katanya.
“Rumah Sakit mana?” Sambungku.
“UGD Rumah Sakit Islam.”
Tanpa permisi, aku langsung menuju Rumah Sakit. Kulihat persis nama ruangan itu. Ruang anggrek 25. Disitu ada 3 pasien. Sang perawat mengantarku sampai ke depan pintu.
Ada rasa berkecamuk dalam dada. Bukan Ana yang tertidur disitu. Aku menangis, dan terduduk di kursi sebelahnya. Aku keluar dari ruangan dan berjalan ke lobi. Kulihat Pak Sardjono dan Rini duduk di kursi tempat pengambilan obat.
“Pak Sardjono.” Sapaku.
“Kamu Van. Duduk Van.” Katanya. Kemudian aku duduk disebelah kanannya.
“Kamu tahu dari mana Ana masuk Rumah Sakit?” Tanyanya membuatku tersentak. Aku menutup muka. Tak kuasa menahan tangis.
“Ruang Melati 12.” Katanya.
“Ya.” Kataku lalu beranjak..
Post a Comment