TIRAI KELABU

Posted by Unknown , Monday, April 23, 2012 11:20 AM


Namaku Soraya. Oleh teman-temanku, aku sering dipanggil Raya. Aku tinggal disebuah kota tepatnya Mawar asri. Aku tinggal bersama kedua orang tuaku, satu orang kakak laki-laki dan satu orang kakak perempuan. Kak Yos, begitu nama panggilan kakakku yang pertama. Dia sekarang tengah menempuh pendidikan S1nya di Jogja semester 5, sementara, Kak Puput, dia menempuh pendidikan S1nya di Semarang, semester 1, dan tinggal bersama Kakek dan Nenekku disana.
Aku sendiri, aku baru saja lulus dari SMA. Tinggal aku yang masih bingung mau menyambung hidup yang seperti apa. Papa bilang, aku mondok saja,
karena kebanyakan teman-temanku masuk di perguruan tinggi  di kota-kota yang lumayan jauh, sambil ngaji di pondok mahasiswa. Mamaku bilang, aku harus menamatkan pendidikan S1 seperti kakak-kakakku. Uh... aku selalu iri dengan kedua kakakku yang selalu bebas memilih apa yang mereka ingin. Sementara aku, tidak! Aku harus selalu nurut kemauan Papa Mama.
“Kamu mau tinggal dimana? Kalo kuliah jauh-jauh begitu? Kita tidak punya kerabat yang tinggal di sana. Sudahlah, memangnya kamu bisa membagi waktu? Sekolah saja, belum bisa membagi waktu, kapan main kapan belajar.” Kata Papa suatu waktu.
“Tapi Pah, kita kan bisa cari tempat kos yang aman buat Raya. Biarkan dia kuliah dulu seperrti Yos dan Puput. Kasian Raya kalau tidak bisa seperti kakak-kakaknya Pah.” Sanggah Mama dengan nada memelas.
“Iya Pah...” Kataku menang, merasa mendapat pembelaan.
“Ma, Papa tau maksud Mama. Papa tau apa yang terbaik untuk Raya.” Kata Papa menutup pambicaraan dengan meninggalkan Aku dan Mama. Mama hanya menghela napas panjang.
Aku tak tahu, entah mengapa, akhir-akhir ini, aku sering melihat ketidakcocokan antara Papa dan Mama. Papa dan keluarganya memeluk agama islam, sementara Mama dan keluarganya dahulunya katolik. Mama masuk islam satu bulan sebelum menikah dengan Papa. Namun pada akhirnya, Mama kembali lagi ke agamanya semula. Dan akhirnya, Kak Yos, dia menganut islam seperti Papa, sementara Kak Puput, dia lebih memilih katolik. Aku sendiri, semula ikut katolik, tapi finally aku masuk Islam. Aku tahu, betapa besar usaha Papa untuk menyatukan keluarga ini dalam satu agama. Mulai dari dulu sebelum Papa menikah dengan Mama, sampai mendidik anak-anaknya untuk memeluk agama islam. Tapi, yah.. Mama juga selalu keras kepala pada keputusannya. Mama bilang, anak-anaknya harus ada yang beragama katolik, seperti keluarganya. Meskipun aku selalu tahu, Mama selalu berat mengatakan itu. Aku tak tahu, apa yang ada di pikiran Mama..
Suatu saat, pulang dari sekolah untuk mengambil ijazah, aku berpapasan dengan Papa di gerbang keluar gang. Beliau bilang hendak ke Kantor Pegadaian. Papa menyuruhku langsung pulang karena Mama ada di rumah.
10 menit kemudian, aku telah sampai di depan gerbang. Aku terhenti sejenak, kemudian memandang ke sekeliling rumah. Ku buka ponselku hendak menghubungi Papa. Tapi, ya sudahlah, mungkin Papa hanya tidak menutup pintu gerbang karena aku akan segera sampai. Dengan langkah tidak stabil, aku memasuki lantai atas. Pintu kamar Kak Yos terbuka. Aku menghampirinya dan segera menutupnya lagi. Sampai di pintu kamar, aku buka kunci dan langsung merabahkan tubuhku di atas ranjang. Aku pura-pura tidur ketika ternyata Mama membuka pintu. Dia hanya melihatku sejenak lantas keluar lagi. Kudengar suara langkah turun dari tangga. Tapi... bukan hanya satu orang! Kucoba mengintip dari sela-sela pintu, lalu mengikuti suara langkah tersebut pergi. Kamar Pak Anto. Supir Papa. Tapi, bukannya tadi pergi bersama Papa? Aku mendengar suara orang bercakap-cakap dari dalam.
“Apa kamu masih betah hidup bersama Ardi di rumah ini?” Tanya seorang laki-laki.
“Mau gimana lagi? Aku masih mau memperjuangkan anak-anakku.” Kata Mama.
“Apa kamu tidak kasian dengan keadaanmu sendiri? Tidakkah kamu mau mencari kebebasan?”
“Iya, tidakpun ditanya, pasti kau sudah tahu, betapa aku lelah menghadapi ini.”
“Ceraikan Ardi Del! Agar hidupmu sedikit tenang. Kamu punya aku. Yang selalu siap untukmu kapan saja.”
Aku seperti tak percaya, bahwa yang kudengar barusan adalah suara Mama. Mama...

Aku melihat banyak sekali orang di ruangan ini. Berbaju mantel hijau dengan mengenakan masker dan tutup rambut. Aku merasakan aku tak bisa bernapas dan...... bayangan-bayangan itu tak ada lagi.
“Ya, sudah sedikit lebih baik.”Kata Dokter itu berbincang-bincang dengan Kak Yos dan Kak Puput. Sesaat ada seorang perawat datang.
“Sudah siuman mbak?” Kak Yos dan Kak Puput langsung menoleh ke arahku. Perbincangan itu selesai.
“Gimana Ray?” Sapa Kak Puput. Aku tak kuasa menahan tangis.
“Mama Kak... Mama...” Isakku. Mereka saling berpandang.
“Ray... Mama dan Papa sudah memilih jalan terbaik mereka. Mungkin itu akan menjadi lebih baik untuk kita semua. Kita gak bisa menyesali. Raya ikut Kakak.”Kata Kak Yos.
“Maksutnya?” Kataku tidak mengerti.          
“Hm.. Raya istirahat dulu ya.” Aku mengerutkan wajah dengan jawaban itu. 
Tiga minggu di rumah sakit, aku tak mendapati Papa dan Mama menjengukku. Entah sedang apa dan dimana mereka. Sore ini, aku sudah diperbolehkan pulang. Kedua kakakku mengantarku. Aku tak tahu, ada dimana aku sekarang. Aku merasa asing dengan kota ini.
“Papa dan Mama sudah bercerai seminggu lalu. Papa ada di Jogja. Mama pulang ke Jakarta, tempat Oma dan Opa. Raya istirahat dulu saja di kostnya Kak Yos trus terserah Raya kalau mau ke tempat Papa. Kita ikut Papa.” Kata Kak Puput di tengah perjalanan pulang.
“Kita? Kak Puput kan di Semarang?” Tanyaku.
“Kakak gak bisa nglanjutin kuliah Kakak.” Aku mengernyitkan kening. Kak Yos menoleh.
“Kakak hamil.”Katanya hambar. Ya, memang kulihat perut Kak puput agak lebih besar dari sebelumnya.
“Kakak udah menikah 5 hari yang lalu.”
“Hah?? Bener Kak?” Dia memelukku. Jika Kak Puput menikah, itu artinya, dia akan lebih banyak punya waktu untuk dirinya dan suaminya.
“Kak Yos gimana Kak?”
“Kakak ujian seminggu lagi. Oh ya Ray, kamu jadi kuliah?”
“Gak tahu.”
Pukul tujuh malam, kami tiba di Jogja. Seperti terjadi Reinkarnasi. Setelah bangun dari Rumah Sakit, tiba-tiba semua kehidupan berubah. Papa Mama bercerai. Belum sempat bertemu sejak peristiwa di rumah itu. Dan sampai sekarang pun, siapa orang itu, masih jadi tanda tanya besar di otakku. Keadaan Kak Puput yang sakit-sakitan karena hamil tua, dan suaminya yang baru aku lihat sekali itu sewaktu mampir dari Togamas. Sekarang mereka tinggal di Jogja juga. Kak Yos, yang semakin sibuk dengan kuliahnya.
Dan aku... yang kini memulai kehidupan baruku dengan menulis. Yudistira Pratiwa. Ejaku berulang-ulang saat membuka-buka foto album keluarga yang terjajar rapi di almari. Puspita Anggraini Dewi kataku ketika kulihat foto Kak Puput saat wisuda SMA dulu. Aku tersenyum melihat foto-foto itu. Dan senyumku semakin lebar ketika kulihat sosok itu tiba di depan pintu ruang tamu. Papa..

0 Response to "TIRAI KELABU"

Post a Comment