Murni mengangkat embernya dengan
tergesa-gesa menuju dalam rumah. Tapi sekonyong-konyong ember yang berisi penuh
air itu tumpah seluruhnya ke lantai dapur.
“Murni! Ah, kamu tu! Kotor semua jadinya,
kasian ibuk!” Bentak Alfi pada bocah 6 tahun itu. Segera ia mengambil sapu.
Tapi Murni tak bereaksi. Ia masih tertelungkup diam.
“Murni!” Panggilnya lagi. Alfi
menggerak-gerakkan tubuh Murni. Ditemukannya sepercik darah di pipinya.
“Ya Allah..” Diusap-usapnya kemudian
digendong.
Hari itu, adzan magrib telah berkumandang
dimana-mana. Matahari memancarkan sinar senja yang gelap di ujung barat. Pak
Nurman, ayahnya, sesekali menengok dengan muka muram dan gelisah. Murni tetap
masih tenang di peraduannya.
“Gimana Murni Pak?” Tanya Bu Ikah pada Pak
Nurman malamnya.
“Dia baik saja Bu, kita perlu lebih
berhati-hati lagi.”
“hati-hati bagaimana Pak?”
“Dia Cuma terkena sihir. Murni bakal bangun
3 hari lagi.”
“Apa Pak?”
Terik sina mentari telah biasa kau jadikan payung
Debu melilit kulitmu kau biarkan
Aku sungguh heran
Tidakkah kau lelah dengan ini semua?
Tapi jawabanmu hanya senyum
Senyum semangat yang khas kukenal
Berpuluh tahun ketika aku belum sebesar ini
Engkau dengan penuh harap mengantarku ke madrasah
Dan susah payah membayar sekolah
Demi aku, anakmu
Posted by
Unknown
,
12:44 PM
Masih ditatapnya jendela di depannya. Tak ada pemandangan
apapun. Hanya titik-titik embun yang semakin jelas. Sementara di belakang,
kakaknya tengah sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Koper-koper besar telah
siap menantinya untuk dibawa. Gambar-gambar di seisi kamar telah bersih.
Tulisan-tulisan yang semula tertempel rapi hanya tinggal bekas-bekas solasi
yang tak rapi.
Lita benar-benar tak siap. Entah sampai kapan dia akan
sanggup duduk di depan jendela tanpa gerakan sekalipun.
“Talita! Ditunggu Papi di ruang makan! Cepet ya, nanti Papi
marah.” Kata kakaknya tanpa membuka pintu kamar. Yah, dia sudah paham apa yang
dilakukan adiknya itu.
Makin malam, hujan semakin deras saja. Suara
rintik-rintiknya semakin terasa. Lita mencoba menggerakkan kakinya sedikit.
Hampir 10 menit dia berusaha mengangkat kakinya hingga bisa berjalan.
Kesemutan.
“Ya ampuun.. kamu ngapain aja sih?
Posted by
Unknown
,
12:42 PM
“Aku berangkat dulu ya Buk.”
“Hati-hati Ndra.”
Wanita berkacamata dengan rambut
depan yang terlihat telah beruban itu menatap sekilas ke arah anaknya berjalan,
ia tersenyum melihat teman-temannya tersenyum melambai ke arahnya. Mobil Inova
hitam itu melaju pelan meninggalkan area pekarangan rumah. Tak lama kemudian
pintu rumah tertutup seiring si pemilik rumah memasuki dalam rumah.
“Bawa bekal apa Ndra? Banyak
banget isi tas kamu?”
“Tau tu Ibu yang bawain. Belum
pada makan kan? Makan aja tu kalo ada cemilan.”
“He.. aku makan ya.”
“Iya, eh jam berapa sekarang
Nji?”
“Jam tiga lima belas.”
Mobil berbelok
ke arah pom bensin.
“Mohon maaf
habis Pak.”
Indra dan
beberapa temannya saling melihat. “Udah limit ni.”
Posted by
Unknown
,
12:30 PM
Suasana tepi pantai yang sangat tak asing bagiku. Jembatan
indahnya yang seakan selalu menarikku untuk pergi ke tempat ini. Pasir-pasirnya
yang begitu memesona..... Ah.. seperti dalam film-film saja. Bayangan-bayangan
di waktu itu masih saja bergerak-gerak di atas jembatan itu. Tertawa, sedih,
dan... sangat sedih.
“Lagi apa anak ibuk?” sapa ibuku ramah ketika mengetahuiku
tengah melamun.
“Menikmati sore Buk, jenuh di dalem rumah terus.”
“Ya sudah, tapi jangan sampai magrib ya.”
“Iya buk.” Kataku tersenyum membalas ucapan ibu.
***
“Kapan ni kita berangkat?” kata Aldri.
“iya lama banget tuh orang. Nunggu ampe lumuten ni. Gak
dateng-dateng.” Kataku.
“Gimana kalo kita berangkat duluan. Keburu siang ni? Tar
panas di sananya.”
“Eh, tapi ya jangan gitu donk, tar kalo dia nyasar gimana?
Kita yang nanggung donk.” Celetuk Bagas.
“Pris, temeni aku bentar yuk.” Ucapnya.
“Kemana Gas?”
Tanpa menjawab pertanyaanku, dia langsung menyeret tanganku
dan menjauh dari teman-temanku yang sedang kesal.
“Apa sih Gas?”
Biasanya, jam dua belas seperti ini lagi banyak-banyaknya
anak-anak sekolah yang lagi pada nongkrong di warnet. Facebook-an, twitter-an.
Kebiasaan yang sangat gak baik buat diterusin. Aku udah berulang-ulang kali
memperingatkan, tapi tetap saja, jawabannya, “Mumpung mas, rumah jauh dari waret.” Yah, mau apa dikata. Tapi
tunggu dulu, hari ini sejak dari pagi sampai siang ini pukul setengah satu,
warnet sepi, hanya diisi oleh beberapa orang yang keliatannya sih anak
kuliahan.
“Permisi mbak, ada komputer yang kosong?” Kata salah seorang
pendatang.
“Sebentar ya.” Kataku kemudian mengklak-klik ini itu.
“Ada mbak, komputer nomor 10, tapi di lantai dua.” Kataku
kemudian menunjukkan jalan.
“Eiqa!” Teriak seorang berambut panjang terurai.
“Eh, ? Ada apa mas?”
“Bisa benerin komputer gak kamu? Komputerku rusak tu? Minggu
depan harus kupakai. Aku mau ngerjain tugasku yang seabrek.”
“Aduh.. gak janji deh Yar,